silahkan mampir disini

ilmu pengetahuan mengalir seperti air

translator

English French German Spain Italian Japanese

Selasa, 15 Maret 2011

Mengenal Hindu Kaharingan dari sepatah-dua KATA

(by: Tiwi Etika)

Tuhan dalam ajaran Hindu Kaharingan disebut dengan nama Ranying Hatalla. Secara etimologi Ranying Hatalla berasal dari bahasa Sangiang (Dayak Kuna), terdiri dua suku kata, yaitu Ranying dan Hatalla. Ranying berarti: “Maha Besar”, dan Hatalla berarti “Maha Kuasa/tidak terbatas”. Jadi Ranying Hatalla dipahami sebagai suatu kekuatan “energi” yang menjadi misteri dibalik adanya alam semesta berserta isinya (tidak terbatas oleh sifat, ruang dan waktu, serta tidak terpikir atau terjangkau oleh akal pikiran manusia mengenai keberadaannya).

Ada tiga klasifikasi sebutan nama Tuhan dalam ajaran Hindu Kaharingan: 1) Ranying Hatalla, 2) Ranying Hatalla Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan, dan 3) Ranying Hatalla Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan.

(Panaturan, 1: 3, 2 : 12 & 41 : 45) .


1. Ranying Hatalla Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan.

Ranying Hatalla Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan, terdiri dari tiga kalimat: Ranying Hatalla Langit, Raja Tuntung Matan Andau, dan Tuhan Tambing Kabanteran Bulan. Ranying Hatalla Langit berarti: Tuhan Mahabesar, sebagai pelindung atau meliputi segalanya, baik yang bernyawa maupun tidak, yang kelihatan maupun tidak, seperti eksistensi “Langit” bagi alam semesta berserta isinya. Raja Tuntung Matan Andau memiliki pengertian, Tuhan merupakan sumber penerangan/sumber energi kehidupan bagi semua isi alam semesta, laksana sifat dan eksistensi yang dimiliki “Matahari” bagi kehidupan ini. Tuhan Tambing Kabanteran Bulan berarti: Tuhan Maha Sempurna, memiliki sifat keindahan atau pesona sebagai “innerbeuty” dalam diri semua ciptaannya. Innerbeuty ini akan terlihat pada diri manusia, apabila manusia dimaksud tidak lagi diselimuti ego duniawi. Jadi Ranying Hatalla Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan, berarti Tuhan diposisikan dalam “Sifat-Nya”.

2. Ranying Hatalla Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan.

Ranying Hatalla Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan, terdiri dari empat kalimat yakni: (1) Ranying Hatalla Langit, (2) Raja Tuntung Matan Andau, (3) Tuhan Tambing Kabanteran Bulan, dan (4) Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan, memiliki pengertian bahwa Tuhan, sebagai sumber dan akhir segala yang ada di dunia ini”. Jadi Tuhan diposisikan dalam “Berkarya”. Dalam Panaturan disebutkan Ranying Hatalla selalu melibatkan Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan dalam aktivitasnya mencipta. Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan di posisikan sebagai unsur materi dari Ranying Hatalla.

3. Ranying Hatalla.

Kata Ranying Hatalla memiliki pengertian global sebagai suatu unsur yang tidak dapat terpikirkan oleh akal atau pikiran manusia keberadaannya (Acintya). Pada pengertian terakhir, kata Ranying Hatalla, mengisyaratkan Tuhan dipahami sebagai wujud yang tidak terpikirkan “Maha”. Pada tataran ini Tuhan dikatagorikan sebagai sesuatu yang Nirguna. Kemudian pada pengertian kedua, pada kalimat Ranying Hatalla Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan, menegaskan bahwa Ranying Hatalla lebur dalam “sifat-Nya”, oleh karena itu Tuhan disebut maha kuasa, maha besar, maha tinggi, maha sempurna dan sebagainya, dalam kondisi tersebut Tuhan dikatagorikan sebagai Saguna. Sedangkan Ranying Hatalla Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapagaer Hintan. Pada kondisi atau posisi ini Ranying Hatalla dipahami sebagai suatu unsur yang telah melakukan aktivitas atau berkarya. Karena Tuhan telah mencipta dan sebagai tempat terakhir bagi ciptaan-Nya.

Dalam terminologi paham Siwa Sidhanta di Indonesia, tiga nama sebutan Tuhan di atas, dapat disejajarkan dengan sebutan Tuhan sebagai Paramasiwa, Sadasiswa, dan Siwaatman. Paramasiwa (kata, Ranying Hatalla) adalah hakekat Tuhan yang sama sekali belum terkena pengaruh Maya. Beliau tidak terbatas, telah ada tanpa ada yang mengadakan, tidak berawal dan tidak berakhir, mengatasi waktu dan tempat. Oleh karena itu Tuhan dalam kapasitas sebagai Paramasiwa disebut Nirguna Brahman. Sadasiwa (kata, Ranying Hatalla Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan) merupakan hakekat Tuhan yang sudah sedikit memasuki pengaruh Maya. Maka Beliau mulai terkena sifat-sifat. Dalam kapasitas sebagai Sadasiwa, Tuhan disebut Saguna Brahman. Adapun sifat-sifat mengenai Beliau adalah sifat-sifat berupa kesaktian (Maha Sakti). Kesaktian Beliau tidak terbatas dan tidak terhitung, pada prinsipnya kesaktian itu dibagi menjadi empat kategori disebut Cadu Sakti. Yaitu: Jnana Sakti (Maha Tahu), Wibhu Sakti (dapat berada di mana-mana/Wiyapi-Wiyapaka.

Prabu Sakti menguasai segala-galanya, dan Kriya Sakti artinya dapat melakukan apa saja. Sadasiwa dipuja di atas tahta Padmasana. Padma artinya bunga teratai, dan Asana berarti tempat duduk. Jadi Padmasana berarti tempat duduk yang menyerupai bunga teratai. Secara filosofis Padmasana melambangkan kesaktian beliau yang berlapis-lapis, seperti terlapis-lapisnya bunga teratai. Sedangkan Siwa merupakan hakekat Tuhan yang telah lebih banyak memasuki pengaruh maya. Dalam kapasitas sebagai Siwa (kata, Ranying Hatalla Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan). Tuhan disebut Sang Hyang Dharma, Sang Hyang Jagatkarana, Sang Hyang Iswara atau Sang Hyang Rudra. Oleh karena Siwa telah banyak terpengaruh Maya, maka Beliau melakukan aktivitas penciptaan.

Kesejajaran sebutan nama bagi Tuhan, baik dalam perspekt if Hindu Kaharingan, maupun dalam paham Siwa Sidhanta tersebut, apabila direaktualisasikan dalam “Karya Ilahi” memberikan pemahaman: Pertama, Ranying Hatalla, diposisikan sebagai Tuhan, dalam kapasitas tidak terpikirkan oleh akal manusia, baik berupa sifat, rupa, bentuk, eksistensinya. Kedua, Ranying Hatalla Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan, memposisikan Tuhan dalam kapasitas “Pemelihara”. Ketiga, Ranying Hatalla Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan, memposisikan Tuhan dalam kapasitas sebagai “Pencipta dan Pengembali” segala yang ada di dunia kepada asalnya.

Ada tiga jenis nama benda angkasa, disebutkan terkait dengan sebutan nama bagi Tuhan di atas, yaitu Langit, Matahari dan Bulan. Keberadaan ketiga benda angkasa yang terletak di atas tersebut, sesungguhnya secara filsafati telah menegaskan bahwa kualitas, kuantitas serta eksistesi Tuhan nampak melebihi segala sesuatu yang ada di dunia. Sifat yang dimiliki Tuhan tergambar dari sifat yang dimiliki ketiga benda angkasa dimaksud. Langit diketahui telah mampu memayungi bumi dan benda lainnya. Matahari telah memberikan sinarnya, guna kelangsungan hidup mahluk yang ada di dunia. Demikian juga Bulan, kesempurnaan dan keindahannya mampu memberikan kesejukan bagi mahluk yang memandangnya. Sedangkan kata Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan, menegaskan bahwa Tuhan dalam aspek material atau kemewahan, sebagai sumber asal mula segala yang ada, sehingga kelangsungan hidup mahluk di dunia tidak terlepas dari campur tangan Beliau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar